Berbagai
macam cara dilakukan oleh manusia untuk mewujudkan rasa syukur kepada
Tuhan Yang Mahakuasa atas segala berkah dan rahmat yang
dilimpahkan-Nya. Salah satunya adalah melakukan upacara bersih desa.
Upacara ini merupakan upacara yang lazim dilaksanakan di berbagai desa
di Jawa. Di kalangan masyarakat Jawa, bersih desa atau bersih dusun
dikenal dengan istilah rasulan atau bersih deso, yaitu
sebuah tradisi turun-temurun yang masih berlaku dalam masyarakat
petani di desa-desa di Jawa, seperti di Desa Getas, Kecamatan Playen,
Kabupaten Gunungkidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Mengenai
kapan mulainya dan siapa yang memulai tradisi ini, sulit ditemukan
sumbernya. Namun, tradisi ini masih berlangsung sampai sekarang yang
sudah merupakan acara rutin setiap tahun sekali dengan agenda pokoknya
tasyakuran, yaitu ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Mahakuasa
atas limpahan rahmat-Nya kepada seluruh warga masyarakat.
Ungkapan rasa syukur tersebut diwujudkan dalam berbagai cara. Namun secara umum, rasulan atau bersih deso
identik dengan menyediakan makanan lebih baik dari hari-hari
biasanya, karena pada hari itu akan banyak sanak saudara, handai
taulan dan kerabat yang datang ke rumah, sehingga mereka merasa malu
jika tidak menghidangkan makanan yang lezat kepada tamu-tamu mereka.
Selain menyediakan makanan dan minuman di rumah masing-masing, seluruh
warga juga membuat satu porsi makanan lengkap dengan lauk-pauk yang
telah dikemas dalam berbagai bentuk hiasan, kemudian dibawa dan
dikumpulkan di balai desa. Makanan tersebut baru boleh dimakan secara
beramai-ramai, setelah dibacakan doa oleh tokoh agama setempat. Bagi
orang Jawa, rasulan termasuk juga hari besar selain hari raya Lebaran (Idul Fitri dan Idul Adha). Bagi anak-anak rasulan merupakan hari yang ditunggu-tunggu, karena akan dibelikan pakaian baru.
Upacara
bersih desa seperti di atas, tidak hanya terdapat di Jawa. Di daerah
Kalimantan Selatan, Indonesia, tepatnya di Desa Padang Batung, juga
terdapat upacara bersih desa yang dikenal dengan istilah upacara manyanggar banua.
Tujuan dilaksanaknnya upacara ini seperti halnya di Jawa yaitu
sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Mahakuasa, karena panen
mereka telah berhasil. Selain itu, mereka juga memohon agar
senantiasa selamat dan terhindar dari malapetaka. Ungkapan rasa syukur
tersebut, juga diwujudkan dengan menyediakan beraneka ragam makanan
yang lezat pada setiap keluarga di desa itu. Namun, sebelum perayaan
dimulai, seluruh desa dibersihkan dari rumput dan tanaman yang
mengganggu. Jalan
desa dirawat dengan baik. Selokan yang mampet dibetulkan, agar air
tidak menggenang. Semuanya dikerjakan secara bergotong-royong. Seluruh
warga masyarakat turut serta dalam kegiatan tersebut. Selain di
pekarangan rumah, mereka juga membersihkan seluruh bagian-bagian di
dalam rumah. Mulai dari langit-langit rumah, bagian dapur, kamar tidur,
kamar depan hingga kolong rumah. Semua peralatan memasak mereka cuci di perigi (telaga). Demikianlah, seluruh kampung terlihat bersih dan rapi. Adapun puncak acara manyanggar banua adalah upacara adat selamatan dengan beraneka ragam hidangan makanan dan minuman yang lezat.
Namun,
suatu ketika di saat memasuki hari perayaan upacara selamatan,
seluruh warga masyarakat di Desa Padang Batung dikagetkan dengan sebuah
peristiwa yang sangat aneh. Menjelang subuh hari, seluruh makanan
yang telah disiapkan oleh seluruh warga di rumah masing-masing habis
dimakan oleh sesosok makhluk gaib yang tak seorang pun warga yang
mengetahui asal dan jenisnya. Oleh karena itu, seluruh warga berkumpul
untuk bermusyawarah tentang bagaimana cara mengetahui jejak dan jenis
makhluk itu. Peristiwa ini terjadi dalam sebuah cerita rakyat yang
terkenal di kalangan masyarakat Kalimantan Selatan. Lalu, bagaimana
dengan kisah selanjutnya? Berhasilkah mereka mengetahui makhluk gaib
itu? Ingin tahu jawabannya? Ikuti kisahnya dalam cerita Hampang Datu berikut ini.
* * *
Konon,
pada zaman dahulu kala, tersebutlah sebuah desa di wilayah Kalimantan
Selatan, yang bernama Desa Padang Batung. Mata pencaharian
penduduknya adalah bertani. Hasil pertanian yang mereka peroleh cukup
melimpah. Untuk mensyukuri nikmat yang diberikan Tuhan tersebut, maka
setahun sekali yaitu setiap selesai panen mereka selalu mengadakan kenduri besar sebagai bagian dari upacara manyanggar banua (bersih desa). Pada hakekatnya, puncak acara dalam upacara itu adalah upacara adat selamatan atau kendurian. Setiap keluarga di desa itu menyiapkan beraneka ragam makanan dan minuman untuk mereka makan bersama-sama.
Pada
suatu ketika, di salah satu rumah warga terjadi peristiwa yang aneh.
Menjelang subuh, sejumlah ikan dan kue yang sudah dimasak hilang dari
tempat penyimpanannya. Sambal
yang tersisa bagai diacak-acak berhamburan di ruang dapur. Dua panci
besar daging rusa yang sudah dipersiapkan juga tidak tersisa sedikit
pun. Seluruh anggota keluarga dalam rumah itu dibangunkan. Setelah
ditanya, tidak ada satu pun anggota keluarga yang menyentuh makanan itu
sebelumnya.
Menjelang
pagi, di rumah tetanggannya terdengar suara ribut-ribut. Ternyata,
mereka juga mengalami peristiwa yang serupa. Penduduk desa pun geger.
Selama bertahun-tahun mereka melakukan upacara manyanggar banua
itu, inilah kali pertama mereka mengalami peristiwa seperti itu. Pada
awalnya, setiap warga saling mencurigai antara satu dengan yang
lainnya. Namun, pada akhirnya kecurigaan mereka menjadi tidak beralasan,
karena mereka mengalami peristiwa yang sama. Untuk itu, Kepala Desa
dan para sesepuh desa mengumpulkan seluruh warganya untuk mengadakan
musyawarah di Balai Desa.
“Saya tidak yakin jika yang melakukan hal itu adalah warga di desa ini,” sahut seorang warga dalam pertemuan itu.
“Benar apa yang kamu katakan itu. Kelihatannya,
semua warga desa kita ini baik-baik. Saya juga tidak pernah mendapat
laporan bahwa warga kita berseteru dengan warga desa tetangga,” tambah
Kepala Desa.
“Lalu,
siapa orang yang berani mengganggu ketenteraman desa kita?” tanya
salah seorang warga yang bertubuh kekar sambil tangannya menepuk-nepuk kumpang parang bungkul
yang menggantung di pinggangnya. “Sebut saja siapa dan di mana
rumahnya! Akan kutunjukkan padanya bahwa di desa ini ada warga yang siap
mengadu raga untuk mempertahankan kehormatan desanya,” ujar laki-laki
kekar itu dengan mata terbakar.
“Ini
sebuah tantangan! Aku juga terpanggil untuk membela kehormatan desa
kita,” seorang warga yang berdiri paling belakang turut membuka suara.
Suasana
dalam pertemuan itu semakin memanas. Beberapa warga mulai emosi.
Dalam suasana demikian, tiba-tiba terdengar suara yang tidak terlalu
nyaring, tetapi cukup jelas didengar oleh semua yang hadir. “Sudahlah!”
seru seorang sesepuh yang sangat disegani di desa itu. Semua mata
terpusat kepadanya. Suasana pun kembali dingin.
“Andai saja perbuatan kurang ajar ini dikerjakan oleh satu orang, tentu ia sangat digjaya.
Bayangkan! Lebih dari empat puluh rumah ia acak-acak dan ia kentuti.
Tidak ada satu pun dari kita yang bangun, apalagi memergokinya,” ujar
orang tua itu dengan tenang.
Pernyataan orang tua itu, kembali membakar emosi salah seorang warga, “Aku tidak perduli dengan kedigjayaannya, hatta berkumis kawat sekalipun, bila belum berhadapan denganku, tidak akan kuterima perlakuan ini.”
“Jadi,
maksud Dangsanak kita akan menyerang dia?” tanya si Laki-laki kekar.
“Jika begitu, akan kuundang semua laki-laki berkemampuan untuk... ,”
kata laki-laki itu belum selesai bicara. “Untuk
menyerang? Siapa yang akan kalian serang?” potong si Orang Tua. Sorot
matanya yang tajam menebar ke semua yang hadir. Hadirin pun terdiam,
termasuk si Laki-laki kekar. Kemudian Orang Tua itu melanjutkan, “Kita
belum mengenali siapa sebenarnya orang yang telah menebarkan
permusuhan dengan kita. Curiga boleh-boleh saja. Sebaiknya mulai malam
ini kita berjaga-jaga di pusat desa,” orang tua itu mengusulkan.
Semua warga menerima usulan itu, termasuk Kepala Desa. Sementara upacara manyanggar banua
ditunda hingga esok hari. Menjelang malam, seluruh pemuda desa
mendirikan pos jaga di sudut-sudut desa untuk menghadang si pengacau.
Ibu-ibu sibuk memasak apa adanya di dapur. Malam pun semakin larut.
Setelah semua makanan matang, mereka pun beristirahat.
Menjelang subuh, tiba-tiba para ibu berhamburan keluar rumah. Mereka
kembali mengalami peristiwa yang sama seperti subuh sebelumnya. Warga
desa kembali geger. Seluruh warga berkumpul di depan rumah Kepala
Desa. Mereka yang berjaga di pos mengaku tidak melihat makhluk yang
mencurigakan masuk ke desa mereka.
“Wahai, wargaku! Upacara manyanggar banua kita undur lagi sampai desa kita kembali aman,” ujar Kepala Desa kepada warganya.
“Aku
setuju,” sahut sesepuh desa. “Namun yang lebih penting dari itu
adalah menemukan siapa orang atau makhluk apa yang telah mempecundangi
desa kita,” tambahnya. “Bila demikian, penjagaan kita perketat lagi”
sambung Kepala Desa.
“Maaf,
Pak Kepala Desa. Apakah saya boleh usul!” sahut seorang ibu rumah
tangga. “Ya, silahkan!” jawab Kepada Desa. “Begini, Pak. Bagaimana
kalau kita menjebak Pencuri itu. Saya beranggapan bahwa maling
yang telah mencuri sesajen kita bukanlah manusia biasa. Dia adalah
sejenis makhluk gaib yang hidup di lingkungan kita. Dia merasa
terabaikan, sehingga tidak mengherankan jika dia membuat ulah seperti
ini,” jelas ibu itu.
“Lalu,
apa yang harus kita lakukan?” tanya Kepala Desa tidak sabar. “Di
masing-masing rumah, barangkali masih ada daging kelapa yang tersisa,”
kata ibu itu.
“Tentu...!”
jawab ibu-ibu lainnya yang hadir di tempat itu. “Tapi, buat apa?”
tanya seorang ibu penasaran. “Daging kelapa yang sudah diparut,
masukkan ke dalam bakul rumpung yang di bagian bawahnya diberi lubang.
Ikat bagian atasnya, kemudian letakkan di tengah ruang dapur
sebagaimana layaknya kita menyimpan sesajen. Kemudian tinggalkan
seperti sesajen! Setelah itu kita istarahat saja,” jelas ibu rumah
tangga itu.
Mendengar
penjelasan itu, seluruh warga mengangguk-angguk sebagai tanda setuju.
Malam harinya, mereka melaksanakan rencana tersebut sesuai dengan
penjelasan si Ibu. Setelah itu mereka tidur nyenyak. Keesokan harinya,
di pagi yang dingin semua warga bergegas ke dapur. Benar kata ibu itu,
bakul yang berisi parutan kelapa sudah tidak ada lagi. Setiap rumah
mengalami hal sama. Mereka hanya menemukan ceceran parutan kelapa yang
membentuk garis mengikuti arah si pencuri melalui pintu belakang. Hal
itu memudahkan warga untuk melacak jejak ke mana si pencuri itu pergi.
Mereka terus mengikuti garis parutan kelapa yang membentang ke arah
persembunyian si pencuri. Banyak warga yang tidak sabar ingin
melampiaskan kemarahan mereka. Parang dan tombak tergenggam erat di
tangan mereka.
Setelah beberapa jauh mengikuti alur garis itu, sampailah mereka pada mulut sebuah gua di ujung desa. Warga pun yakin bahwa pencuri itu bersembunyi dalam gua itu. Keyakinan
tersebut dikuatkan oleh ceceran parutan kelapa yang mulai
terputus-putus di mulut gua. Parang dan tombak semakin erat di genggaman
mereka, siap untuk digunakan jika sewaktu-waktu diperlukan. Beberapa
warga sudah beranjak masuk ke dalam mulut gua. Namun, mereka kembali
keluar, karena di dalam gua gelap sekali. Sebagian warga disuruh
kembali untuk mencari obor. Sebagian yang lain tetap bersiaga di mulut
gua, kalau-kalau tiba-tiba ada serangan dari dalam gua.
“Sudahlah!
Kita hentikan saja perburuan ini untuk menghindari jatuhnya korban,”
ujar sesepuh desa. “Mungkin si pencuri sesajen kita adalah makhluk
gaib yang disebut-sebut sebagai datu-datu penjaga lingkungan kita.
Barangkali kita lalai menjaga lingkungan,” tambahnya. “Lalu, apa yang
akan kita lakukan?” tanya Kepala Desa.
“Agar datu yang menghuni gua ini tidak mengganggu kita lagi, saya minta Dangsanak untuk membuat hampang, yaitu menutup gua ini dengan menancapkan batang haur,
kemudian menutup gua dengan rapat-rapat,” jelas sesepuh desa. Seluruh
warga setuju dengan usulan itu. Setelah itu, mereka segera meramu
batang haur, kemudian ditancapkan membentuk sebuah hampang untuk
menutupi mulut gua. Batu-batu besar digelindingkan ke mulut gua,
kemudian ditimbun dengan tanah. Maka terkuburlah makhluk gaib itu di
dalam gua.
Desa Padang Batung pun kembali aman, damai dan sentosa. Sejak
itu, makhluk itu tidak pernah lagi datang mengusik ketenangan warga.
Untuk mengenang peristiwa yang menakutkan yang pernah berlangsung,
oleh masyarakat setempat, tempat tersebut diberi nama Hampang Datu.
Kamus kecil:
Dangsanak : saudara
Digjaya : sakti
Geger : ribut
Hatta berkumis kawat : seandainya berkumis kawat
Haur, aur : sejenis bambu
Kumpang parang tungkul : jenis sarung
Maling : pencuri
Manyanggar banua : upacara bersih desa
Sesepuh : tetua
Digjaya : sakti
Geger : ribut
Hatta berkumis kawat : seandainya berkumis kawat
Haur, aur : sejenis bambu
Kumpang parang tungkul : jenis sarung
Maling : pencuri
Manyanggar banua : upacara bersih desa
Sesepuh : tetua
* * *
Nilai
moral yang terkandung dalam cerita rakyat di atas adalah pandai
mensyukuri nikmat. Sifat ini tercermin pada perilaku warga desa Padang
Batu yang telah mewujudkan rasa syukur mereka kepada Tuhan dalam
bentuk manyanggar banua (bersih desa). Tujuan mereka melakukan manyanggar banua
tersebut, agar mereka terhindar dari malapetaka dan rezeki mereka
bertambah. Orang-orang tua Melayu mengatakan bahwa barang siapa yang
pandai mensyukuri nikmat Allah SWT, maka rezekinya akan bertambah dan
bersih. Selain itu, dengan mensyukuri nikmat seseorang akan terhindar
dari sifat loba dan tamak, jauh dari sifat serakah dan kufur nikmat,
serta terhindar dari keburukan lainnya.
Orang-orang
tua Melayu juga mengatakan bahwa nikmat Allah tidak dapat dihitung
oleh makhluk-Nya. Oleh karenanya, manusia wajib bersyukur dan memohon
agar Allah tetap melimpahkan rahmat dan karunia-Nya. Tenas Effendy
dalam bukunya “Tunjuk Ajar Melayu” banyak menggambarkan sikap
mensyukuri nikmat Allah SWT dalam bentuk ungkapan dan untaian syair, di
antaranya:
apa tanda orang berbudi,
tahu mensyukuri nikmat ilahi
tahu mensyukuri nikmat ilahi
apa tanda orang bertuah,
mensyukuri nikmat tiada lengah
mensyukuri nikmat tiada lengah
apa tanda orang amanah,
mensyukuri nikmat karena lillah
mensyukuri nikmat karena lillah
Dalam untaian syair juga dikatakan:
wahai ananda dengarlah peri,
nikmat Allah wajih kau syukuri
karunia-Nya banyak tidak terperi
siang dan malam Allah memberi
nikmat Allah wajih kau syukuri
karunia-Nya banyak tidak terperi
siang dan malam Allah memberi
wahai ananda dengarlah nasehat,
mensyukuri nikmat jangan terlambat
siang dan malam hendaklah ingat
supaya hidupmu mendapat berkat
mensyukuri nikmat jangan terlambat
siang dan malam hendaklah ingat
supaya hidupmu mendapat berkat
(SM/sas/31/10-07)
Sumber:
- Isi cerita diringkas dari Djarani. 2004. “Hampang Datu”, dalam Batu Bini dan Batu Laki. Yogyakarta: AdiCita Karya Nusa.
- Effendy, Tennas. 2006. Tunjuk Ajar Melayu. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu bekerja sama dengan AdiCita Karya Nusa.
- Anonim. “Rasulan: Upacara Bersih Desa Wukirsari Imogiri.” (http://bantulbiz.com/id/bizpage_budaya, diakses tanggal 1 Oktober 2007).
- Winarno, Warno Hadi. “Kunjung Kampung: Transparansi dan Akuntabiltas Membangkitkan Partisipasi Masyarakat” (http://www.forumdesa.org/mudik/mudik1, diakses tanggal 1 Oktober 2007).
0 komentar:
Posting Komentar