Angry Birds -  Red Bird

Jumat, 01 Juni 2012

Hampang Datu

Berbagai macam cara dilakukan oleh manusia untuk mewujudkan rasa syukur kepada Tuhan Yang Mahakuasa atas segala berkah dan rahmat yang dilimpahkan-Nya. Salah satunya adalah melakukan upacara bersih desa. Upacara ini merupakan upacara yang lazim dilaksanakan di berbagai desa di Jawa. Di kalangan masyarakat Jawa, bersih desa atau bersih dusun dikenal dengan istilah rasulan atau bersih deso, yaitu sebuah tradisi turun-temurun yang masih berlaku dalam masyarakat petani di desa-desa di Jawa, seperti di Desa Getas, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunungkidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Mengenai kapan mulainya dan siapa yang memulai tradisi ini, sulit ditemukan sumbernya. Namun, tradisi ini masih berlangsung sampai sekarang yang sudah merupakan acara rutin setiap tahun sekali dengan agenda pokoknya tasyakuran, yaitu ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Mahakuasa atas limpahan rahmat-Nya kepada seluruh warga masyarakat.
Ungkapan rasa syukur tersebut diwujudkan dalam berbagai cara. Namun secara umum, rasulan atau bersih deso identik dengan menyediakan makanan lebih baik dari hari-hari biasanya, karena pada hari itu akan banyak sanak saudara, handai taulan dan kerabat yang datang ke rumah, sehingga mereka merasa malu jika tidak menghidangkan makanan yang lezat kepada tamu-tamu mereka. Selain menyediakan makanan dan minuman di rumah masing-masing, seluruh warga juga membuat satu porsi makanan lengkap dengan lauk-pauk yang telah dikemas dalam berbagai bentuk hiasan, kemudian dibawa dan dikumpulkan di balai desa. Makanan tersebut baru boleh dimakan secara beramai-ramai, setelah dibacakan doa oleh tokoh agama setempat. Bagi orang Jawa, rasulan termasuk juga hari besar selain hari raya Lebaran (Idul Fitri dan Idul Adha). Bagi anak-anak rasulan merupakan hari yang ditunggu-tunggu, karena akan dibelikan pakaian baru.
Upacara bersih desa seperti di atas, tidak hanya terdapat di Jawa. Di daerah Kalimantan Selatan, Indonesia, tepatnya di Desa Padang Batung, juga terdapat upacara bersih desa yang dikenal dengan istilah upacara manyanggar banua. Tujuan dilaksanaknnya upacara ini seperti halnya di Jawa yaitu sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Mahakuasa, karena panen mereka telah berhasil. Selain itu, mereka juga memohon agar senantiasa selamat dan terhindar dari malapetaka. Ungkapan rasa syukur tersebut, juga diwujudkan dengan menyediakan beraneka ragam makanan yang lezat pada setiap keluarga di desa itu. Namun, sebelum perayaan dimulai, seluruh desa dibersihkan dari rumput dan tanaman yang mengganggu. Jalan desa dirawat dengan baik. Selokan yang mampet dibetulkan, agar air tidak menggenang. Semuanya dikerjakan secara bergotong-royong. Seluruh warga masyarakat turut serta dalam kegiatan tersebut. Selain di pekarangan rumah, mereka juga membersihkan seluruh bagian-bagian di dalam rumah. Mulai dari langit-langit rumah, bagian dapur, kamar tidur, kamar depan hingga kolong rumah. Semua peralatan memasak mereka cuci di perigi (telaga). Demikianlah, seluruh kampung terlihat bersih dan rapi. Adapun puncak acara manyanggar banua adalah upacara adat selamatan dengan beraneka ragam hidangan makanan dan minuman yang lezat.
Namun, suatu ketika di  saat memasuki hari perayaan upacara selamatan, seluruh warga masyarakat di Desa Padang Batung dikagetkan dengan sebuah peristiwa yang sangat aneh. Menjelang subuh hari, seluruh makanan yang telah disiapkan oleh seluruh warga di rumah masing-masing habis dimakan oleh sesosok makhluk gaib yang tak seorang pun warga yang mengetahui asal dan jenisnya. Oleh karena itu, seluruh warga berkumpul untuk bermusyawarah tentang bagaimana cara mengetahui jejak dan jenis makhluk itu. Peristiwa ini terjadi dalam sebuah cerita rakyat yang terkenal di kalangan masyarakat Kalimantan Selatan. Lalu, bagaimana dengan kisah selanjutnya? Berhasilkah mereka mengetahui makhluk gaib itu? Ingin tahu jawabannya? Ikuti kisahnya dalam cerita Hampang Datu berikut ini.
* * *
Konon, pada zaman dahulu kala, tersebutlah sebuah desa di wilayah Kalimantan Selatan, yang bernama Desa Padang Batung. Mata pencaharian penduduknya adalah bertani. Hasil pertanian yang mereka peroleh cukup melimpah. Untuk mensyukuri nikmat yang diberikan Tuhan tersebut, maka setahun sekali yaitu setiap selesai panen mereka selalu mengadakan kenduri besar sebagai bagian dari upacara manyanggar banua (bersih desa). Pada hakekatnya, puncak acara dalam upacara itu adalah upacara adat selamatan atau kendurian. Setiap keluarga di desa itu menyiapkan beraneka ragam makanan dan minuman untuk mereka makan bersama-sama.
Pada suatu ketika, di salah satu rumah warga terjadi peristiwa yang aneh. Menjelang subuh, sejumlah ikan dan kue yang sudah dimasak hilang dari tempat penyimpanannya. Sambal yang tersisa bagai diacak-acak berhamburan di ruang dapur. Dua panci besar daging rusa yang sudah dipersiapkan juga tidak tersisa sedikit pun. Seluruh anggota keluarga dalam rumah itu dibangunkan. Setelah ditanya, tidak ada satu pun anggota keluarga yang menyentuh makanan itu sebelumnya.
Menjelang pagi, di rumah tetanggannya terdengar suara ribut-ribut. Ternyata, mereka juga mengalami peristiwa yang serupa. Penduduk desa pun geger. Selama bertahun-tahun mereka melakukan upacara manyanggar banua itu, inilah kali pertama mereka mengalami peristiwa seperti itu. Pada awalnya, setiap warga saling mencurigai antara satu dengan yang lainnya. Namun, pada akhirnya kecurigaan mereka menjadi tidak beralasan, karena mereka mengalami peristiwa yang sama. Untuk itu, Kepala Desa dan para sesepuh desa mengumpulkan seluruh warganya untuk mengadakan musyawarah di Balai Desa.
“Saya tidak yakin jika yang melakukan hal itu adalah warga di desa ini,” sahut seorang warga dalam pertemuan itu.
“Benar apa yang kamu katakan itu. Kelihatannya, semua warga desa kita ini baik-baik. Saya juga tidak pernah mendapat laporan bahwa warga kita berseteru dengan warga desa tetangga,” tambah Kepala Desa. 
“Lalu, siapa orang yang berani mengganggu ketenteraman desa kita?” tanya salah seorang warga yang bertubuh kekar sambil tangannya menepuk-nepuk kumpang parang bungkul yang menggantung di pinggangnya. “Sebut saja siapa dan di mana rumahnya! Akan kutunjukkan padanya bahwa di desa ini ada warga yang siap mengadu raga untuk mempertahankan kehormatan desanya,” ujar laki-laki kekar itu dengan mata terbakar.
“Ini sebuah tantangan! Aku juga terpanggil untuk membela kehormatan desa kita,” seorang warga yang berdiri paling belakang turut membuka suara.
Suasana dalam pertemuan itu semakin memanas. Beberapa warga mulai emosi. Dalam suasana demikian, tiba-tiba terdengar suara yang tidak terlalu nyaring, tetapi cukup jelas didengar oleh semua yang hadir. “Sudahlah!” seru seorang sesepuh yang sangat disegani di desa itu. Semua mata terpusat kepadanya. Suasana pun kembali dingin.
“Andai saja perbuatan kurang ajar ini dikerjakan oleh satu orang, tentu ia sangat digjaya. Bayangkan! Lebih dari empat puluh rumah ia acak-acak dan ia kentuti. Tidak ada satu pun dari kita yang bangun, apalagi memergokinya,” ujar orang tua itu dengan tenang.
Pernyataan orang tua itu, kembali membakar emosi salah seorang warga, “Aku tidak perduli dengan kedigjayaannya, hatta berkumis kawat sekalipun, bila belum berhadapan denganku, tidak akan kuterima perlakuan ini.”
“Jadi, maksud Dangsanak kita akan menyerang dia?” tanya si Laki-laki kekar. “Jika begitu, akan kuundang semua laki-laki berkemampuan untuk... ,” kata laki-laki itu belum selesai bicara. “Untuk menyerang? Siapa yang akan kalian serang?” potong si Orang Tua. Sorot matanya yang tajam menebar ke semua yang hadir. Hadirin pun terdiam, termasuk si Laki-laki kekar. Kemudian Orang Tua itu melanjutkan, “Kita belum mengenali siapa sebenarnya orang yang telah menebarkan permusuhan dengan kita. Curiga boleh-boleh saja. Sebaiknya mulai malam ini kita berjaga-jaga di pusat desa,” orang tua itu mengusulkan.
Semua warga menerima usulan itu, termasuk Kepala Desa. Sementara upacara manyanggar banua ditunda hingga esok hari. Menjelang malam, seluruh pemuda desa mendirikan pos jaga di sudut-sudut desa untuk menghadang si pengacau. Ibu-ibu sibuk memasak apa adanya di dapur. Malam pun semakin larut. Setelah semua makanan matang, mereka pun beristirahat.
Menjelang subuh, tiba-tiba para ibu berhamburan keluar rumah. Mereka kembali mengalami peristiwa yang sama seperti subuh sebelumnya. Warga desa kembali geger. Seluruh warga berkumpul di depan rumah Kepala Desa. Mereka yang berjaga di pos mengaku tidak melihat makhluk yang mencurigakan masuk ke desa mereka.
“Wahai, wargaku! Upacara manyanggar banua kita undur lagi sampai desa kita kembali aman,” ujar Kepala Desa kepada warganya.
“Aku setuju,” sahut sesepuh desa. “Namun yang lebih penting dari itu adalah menemukan siapa orang atau makhluk apa yang telah mempecundangi desa kita,” tambahnya. “Bila demikian, penjagaan kita perketat lagi” sambung Kepala Desa.
“Maaf, Pak Kepala Desa. Apakah saya boleh usul!” sahut seorang ibu rumah tangga. “Ya, silahkan!” jawab Kepada Desa. “Begini, Pak. Bagaimana kalau kita menjebak Pencuri itu. Saya beranggapan bahwa maling yang telah mencuri sesajen kita bukanlah manusia biasa. Dia adalah sejenis makhluk gaib yang hidup di lingkungan kita. Dia merasa terabaikan, sehingga tidak mengherankan jika dia membuat ulah seperti ini,” jelas ibu itu.
“Lalu, apa yang harus kita lakukan?” tanya Kepala Desa tidak sabar. “Di masing-masing rumah, barangkali masih ada daging kelapa yang tersisa,” kata ibu itu.
“Tentu...!” jawab ibu-ibu lainnya yang hadir di tempat itu. “Tapi, buat apa?” tanya seorang ibu penasaran. “Daging kelapa yang sudah diparut, masukkan ke dalam bakul rumpung yang di bagian bawahnya diberi lubang. Ikat bagian atasnya, kemudian letakkan di tengah ruang dapur sebagaimana layaknya kita menyimpan sesajen. Kemudian tinggalkan seperti sesajen! Setelah itu kita istarahat saja,” jelas ibu rumah tangga itu.
Mendengar penjelasan itu, seluruh warga mengangguk-angguk sebagai tanda setuju. Malam harinya, mereka melaksanakan rencana tersebut sesuai dengan penjelasan si Ibu. Setelah itu mereka tidur nyenyak. Keesokan harinya, di pagi yang dingin semua warga bergegas ke dapur. Benar kata ibu itu, bakul yang berisi parutan kelapa sudah tidak ada lagi. Setiap rumah mengalami hal sama. Mereka hanya menemukan ceceran parutan kelapa yang membentuk garis mengikuti arah si pencuri melalui pintu belakang. Hal itu memudahkan warga untuk melacak jejak ke mana si pencuri itu pergi. Mereka terus mengikuti garis parutan kelapa yang membentang ke arah persembunyian si pencuri. Banyak warga yang tidak sabar ingin melampiaskan kemarahan mereka. Parang dan tombak tergenggam erat di tangan mereka.
Setelah beberapa jauh mengikuti alur garis itu, sampailah mereka pada mulut sebuah gua di ujung desa. Warga pun yakin bahwa pencuri itu bersembunyi dalam gua itu. Keyakinan tersebut dikuatkan oleh ceceran parutan kelapa yang mulai terputus-putus di mulut gua. Parang dan tombak semakin erat di genggaman mereka, siap untuk digunakan jika sewaktu-waktu diperlukan. Beberapa warga sudah beranjak masuk ke dalam mulut gua. Namun, mereka kembali keluar, karena di dalam gua gelap sekali. Sebagian warga disuruh kembali untuk mencari obor. Sebagian yang lain tetap bersiaga di mulut gua, kalau-kalau tiba-tiba ada serangan dari dalam gua.
“Sudahlah! Kita hentikan saja perburuan ini untuk menghindari jatuhnya korban,” ujar sesepuh desa. “Mungkin si pencuri sesajen kita adalah makhluk gaib yang disebut-sebut sebagai datu-datu penjaga lingkungan kita. Barangkali kita lalai menjaga lingkungan,” tambahnya. “Lalu, apa yang akan kita lakukan?” tanya Kepala Desa.
“Agar datu yang menghuni gua ini tidak mengganggu kita lagi, saya minta Dangsanak untuk membuat hampang, yaitu menutup gua ini dengan menancapkan batang haur, kemudian menutup gua dengan rapat-rapat,” jelas sesepuh desa. Seluruh warga setuju dengan usulan itu. Setelah itu, mereka segera meramu batang haur, kemudian ditancapkan membentuk sebuah hampang untuk menutupi mulut gua. Batu-batu besar digelindingkan ke mulut gua, kemudian ditimbun dengan tanah. Maka terkuburlah makhluk gaib itu di dalam gua.
Desa Padang Batung pun kembali aman, damai dan sentosa. Sejak itu, makhluk itu tidak pernah lagi datang mengusik ketenangan warga. Untuk mengenang peristiwa yang menakutkan yang pernah berlangsung, oleh masyarakat setempat, tempat tersebut diberi nama Hampang Datu.
Kamus kecil:
Dangsanak : saudara
Digjaya : sakti
Geger : ribut
Hatta berkumis kawat : seandainya berkumis kawat
Haur, aur : sejenis bambu
Kumpang parang tungkul : jenis sarung
Maling : pencuri
Manyanggar banua : upacara bersih desa
Sesepuh : tetua
* * *
Nilai moral yang terkandung dalam cerita rakyat di atas adalah pandai mensyukuri nikmat. Sifat ini tercermin pada perilaku warga desa Padang Batu yang telah mewujudkan rasa syukur mereka kepada Tuhan dalam bentuk manyanggar banua (bersih desa). Tujuan mereka melakukan manyanggar banua tersebut, agar mereka terhindar dari malapetaka dan rezeki mereka bertambah. Orang-orang tua Melayu mengatakan bahwa barang siapa yang pandai mensyukuri nikmat Allah SWT, maka rezekinya akan bertambah dan bersih. Selain itu, dengan mensyukuri nikmat seseorang akan terhindar dari sifat loba dan tamak, jauh dari sifat serakah dan kufur nikmat, serta terhindar dari keburukan lainnya.
Orang-orang tua Melayu juga mengatakan bahwa nikmat Allah tidak dapat dihitung oleh makhluk-Nya. Oleh karenanya, manusia wajib bersyukur dan memohon agar Allah tetap melimpahkan rahmat dan karunia-Nya. Tenas Effendy dalam bukunya “Tunjuk Ajar Melayu” banyak menggambarkan sikap mensyukuri nikmat Allah SWT dalam bentuk ungkapan dan untaian syair, di antaranya:
apa tanda orang berbudi,
tahu mensyukuri nikmat ilahi
apa tanda orang bertuah,
mensyukuri nikmat tiada lengah
apa tanda orang amanah,
mensyukuri nikmat karena lillah
Dalam untaian syair juga dikatakan:
wahai ananda dengarlah peri,
nikmat Allah wajih kau syukuri
karunia-Nya banyak tidak terperi
siang dan malam Allah memberi
wahai ananda dengarlah nasehat,
mensyukuri nikmat jangan terlambat
siang dan malam hendaklah ingat
supaya hidupmu mendapat berkat
(SM/sas/31/10-07)
Sumber:
  • Isi cerita diringkas dari Djarani. 2004. “Hampang Datu”, dalam Batu Bini dan Batu Laki. Yogyakarta: AdiCita Karya Nusa.
  • Effendy, Tennas. 2006. Tunjuk Ajar Melayu. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu bekerja sama dengan AdiCita Karya Nusa.
  • Anonim. “Rasulan: Upacara Bersih Desa Wukirsari Imogiri.” (http://bantulbiz.com/id/bizpage_budaya, diakses tanggal 1 Oktober 2007).
  • Winarno, Warno Hadi. “Kunjung Kampung: Transparansi dan Akuntabiltas Membangkitkan Partisipasi Masyarakat” (http://www.forumdesa.org/mudik/mudik1, diakses tanggal 1 Oktober 2007).
Share on :

0 komentar:

Posting Komentar